Kizumonogatari adalah volume ketiga dari buku light novel Monogatari ciptaan Nishio Ishin dan juga adalah prekuel dari seri Bakemonogatari yang telah dirilis sebelumnya.
Kizumonogatari menceritakan tentang pertemuan pertama kali Araragi Koyomi dengan sosok vampire bernama Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade yang di seri setelahnya biasa dipanggil Oshino Shinobu. Diawali dengan hal yang benar-benar sepele dan tidak penting namun akhirnya berdampak sangat besar pada kehidupan Araragi setelahnya (serial Bakemonogatari)
‘Koyomi Vamps’ [download Chapter 001 -018]
By Nishio Ishin
001
Kurasa sudah waktunya aku bercerita tentang Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade. Aku merasa itu sudah menjadi hal yang selayaknya kulakukan. Aku pertama bertemu dengannya pada liburan musim semi antara tahun kedua dan tahun ketigaku di SMA. Pertemuan tersebut berdampak besar, dan sekaligus mengacaukan. Bagaimanapun, aku sampai berpikir bahwa nasibku pasti buruk sekali—tentu saja, mungkin aku takkan sampai berpikir begini seandainya bukan aku yang di sana, tetapi malah orang lain yang berada dalam situasiku. Lalu, aku juga merasa agak tak bertanggung jawab bila mengatakan bahwa hanya nasib buruk semata yang menyeretku ke dalam semua ini, dan mungkin saja aku mesti menerima bahwa semua yang terjadi itu memang adalah salahku. Pada akhirnya, aku percaya bahwa keberadaanku di sana waktu itulah yang kemudian memulai seluruh rangkaian kejadian itu.
Rangkaian kejadian itu.
Terlepas dari segala hubungannya dengan kecerobohanku, mengungkapannya seperti itu—sekedar untuk menyebutnya sebagai suatu ‘rangkaian kejadian,’ aku sejujurnya tak tahu seberapa besar persisnya rangkaian kejadian ini sesungguhnya. Kejadian apa yang memulai segalanya, dan kejadian apa yang kemudian mengikutinya, serta bagaimana semua itu kemudian berakhir—aku tetap tak punya bayangan pasti tentangnya. Dan hal itu mungkin saja dikarenakan hingga saat ini pun seluruh rangkaian kejadian yang kumaksud masih belum juga berakhir, atau sebaliknya, bahkan masih belum dimulai—itulah pikiranku yang sejujurnya, sama sekali tanpa maksud untuk berpura-pura atau bermain kata.
Pada akhirnya, aku tak bisa memastikan bagaimana semua ini terjadi dari sudut pandang selain sudut pandangku sendiri, dan aku akhirnya malah jadi membuat orang-orang lain bertanya-tanya, tentang makna apa sesungguhnya rangkaian kejadian ini miliki—sekaligus juga makna apa sesungguhnya yang rangkaian kejadian ini tidak miliki. Seandainya aku bisa bertanya pada orang lain tentang apa yang terjadi menurut versi mereka, mungkin aku bisa memahami bahwa cerita ini memang jenis cerita yang memberi kesan seperti itu—tapi persis karena itu pula, aku jadi takkan bisa membedakan apakah cerita mereka adalah apa yang sesungguhnya terjadi atau bukan.
Bukan kebenaran yang akan aku temukan, melainkan hanya kenyataan yang mereka ketahui.
Dan mungkin saja itu sebenarnya sudah mencukupi.
Yang pasti, untuk memulainya (dan hanya ini pula yang dengan pasti bisa kusimpulkan), perempuan itu adalah jenis sosok yang menjadi pusat dari segala-galanya—Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade.
Memiliki makna yang berbeda hanya bagi si pengamat.
Memiliki perbedaan makna dari si pengamat.
Dan makna tersebut tak memiliki hubungan apapun dengan si pengamat.
Dan itu adalah—kenyataan bahwa dirinya seorang vampir.
Sesudah berbicara begitu, mungkin tak ada artinya menjelaskan vampir adalah makhluk macam apa. Yang namanya vampir bisa ditemukan dalam buku-buku komik, film-film bioskop, game; sebuah konsep yang secara usang telah terpakai berulang-ulang kali. Konsep vampir ini mungkin sudah dipandang sebagai sesuatu yang sangat akrab dengan sebagian besar orang Jepang—mengingat konsep itu tidak terlalu berhubungan dengan budaya yang berasal dari negara ini. Aku rasa itu adalah sebuah konsep tua yang telah dari waktu ke waktu diperbincangkan belum lama ini.
Tapi, pada musim semi itu.
Aku diserang seorang vampir, konsep yang telah diperbincangkan dari waktu ke waktu itu.
Kau bisa bilang kejadiannya konyol.
Aku sendiri berpikir bahwa kejadiannya memang konyol.
Dan karena kekonyolan yang diakibatkan tiada lain oleh diriku sendiri itu—aku mengalami neraka yang berlangsung selama dua minggu.
Pada musim semi itu, dari awal hingga akhir—yang kualami tiada lain hanyalahneraka.
Kejadian apa yang memulainya, kejadian apa yang mengikutinya, dan bagaimana kejadian itu berakhir—walau mungkin aku agak memaksakan diri bila mengatakan ini, bagiku kejadian tersebut untuk selamanya akan menjadi sebuah tanda tanya besar; sebuah paradoks yang takkan pernah berakhir. Meski demikian, yang aku tahu pasti, adalah kapan semua nerakan ini berawal dan kapan semua neraka ini berakhir.
Tanggal 26 Maret sampai tanggal 7 April.
Itu adalah—masa libur musim semiku.
Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade—sesudahnya, aku memahami istilah-istilah apa yang digunakan untuk menyebut keanehan yang berhubungan dengan eksistensi seperti dirinya.
Abnormal.
Monster.
Terbuang.
Dengan demikian, pada waktu itu, di tempat itu, mengamatinya dengan cara itu—aku berpikir itulah alasan utama yang menyebabkanku terseret ke dalam neraka ini.
Apa yang kulihat waktu itu tak sepenuhnya terpahami olehku sebagai pengamat.
Dengan begitu, mungkin pada akhirnya itu berarti aku-nya saja yang memang tolol.
Mengingat dirinya, mungkin sudah tak terelakkan bila ketololanku sepenuhnya terungkap—dan walau pada dasarnya ini akan terlihat seperti menyiksa diri, kurasa aku benar-benar harus berbicara tentang vampir itu.
Kisah tentang bagaimana aku sampai dilukai olehnya.
Kisah tentang bagaimana aku sampai melukai dirinya.
Kurasa aku memang harus berbicara tentang ini.
Aku percaya bahwa itu merupakan sesuatu yang sudah seharusnya aku lakukan.
Tanggung jawabku.
…Lalu walau pendahuluan ini agak bertele, ada beberapa bagian cerita di mana kuharap kalian bisa bersabar—sebab sekalipun aku menyatakannya sebagai tanggung jawabku, pada awalnya semuanya hanyal sikap main-main konyoku belaka. Aku tak tahu awal salahnya di mana, dan merasa kecil hati tentangnya, jujur saja, aku tak percaya diri bisa mengutarakan cerita ini sampai tuntas. Itulah alasan mengapa aku menguraikannya berputar-putar begini, dan bukannya langsung menyampaikan inti pendahuluan ini secara jelas.
Dan walaupun kita sudah mendekati akhir bab pendahuluan ini, sekalipun cerita ini sebenarnya baru saja mau dimulai, kenyataannya adalah segala sesuatunya sudah terlanjur bergulir dan terlampau sulit untuk dihentikan lagi, tapi buat berjaga-jaga saja, seandainya aku ternyata memang tak cukup siap, mungkin lebih baik kukatakan saja bagaimana cerita ini akan berakhir sekarang juga.
Cerita ini berakhir dengan buruk, dengan aku menjadi harus berhubungan dengan seorang vampir.
Sebuah akhir cerita yang di dalamnya semua pihak yang terlibat pada akhirnya mendapatkan nasib buruk.
Persis karena itu, meski neraka yang kuceritakan ini telah berakhir, rangkaian kejadian yang mengiringinya mungkin belum, dan toh sejak awal, tanggung jawabku untuk mengurusi wanita itu mungkin memang takkan pernah berakhir seumur hidup.
002
Alasannya adalah karena aku tak pandai berteman.
Aku yakin aku sempat mengatakannya sebelumnya.
Mengingatnya lagi, kejadiannya hari Sabtu, tanggal 25 Maret, persis sebelum dimulainya liburan musim semi, di siang hari sesudah upacara penutupan caturwulan—pada waktu itu, aku sedang berjalan-jalan di wilayah sekeliling sekolahku, SMA Swasta Naoetsu.
Aku juga tak sedang terlibat kegiatan ekskul apapun.
Aku benar-benar hanya berjalan-jalan, sama sekali tanpa kerjaan.
Tapi aku sama sekali tak sedang gembira atau berdebar dalam menyambut liburan musim semi besok.
Dibebaskan dari semua kegiatan dalam masa liburan seperti libur musim semi, atau masa liburan lain seperti libur musim panas atau musim dingin, atau bahkan mungkin Minggu Emas, merupakan sesuatu yang akan disambut gembira oleh sebagian besar murid sekolah; tapi berhubung ini aku, dan walau aku senang caturwulan ketiga dari masa sekolahku berakhir dengan hadirnya liburan ini, di waktu yang sama, aku merasa liburan ini agak terlalu panjang, jujur saja.
Apalagi karena tak ada pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan selama liburan musim semi.
Untuk suatu alasan, aku jadi merasa tak betah di rumah.
Kejadiannya begitu saja—upacara penutupan berakhir, kami mengambil kartu rapot masing-masing di kelas, lalu seisi kelas bubar sampai tahun ajaran baru dimulai lagi; tapi aku benar-benar merasa tak ingin pulang ke rumah, dan meski demikian, tak ada tempat lain yang benar-benar ingin aku datangi juga, dan akhirnya aku malah berkeliaran secara mencurigakan di seputaran sekolah seperti ini.
Benar-benar tanpa ada yang bisa kukerjakan.
Rasanya lebih seperti menghabiskan waktu daripada menghabiskan waktu luang.
Sejujurnya, meski setiap hari aku berangkat ke sekolah menggunakan sepeda, sepedaku juga masih berada di tempat parkir sepeda—seakan menjadi perwujudan keenggananku untuk pulang.
Lalu kegiatan jalan-jalan santaiku benar-benar santai.
Aku tentu saja tak melakukannya dengan niatan untuk olahraga atau apa.
Jika aku perlu menghabiskan waktu, maka mungkin ada kegiatan lain yang lebih berguna yang bisa kulakukan di dalam sekolah; tapi sekalipun aku sedang tak merasa ingin pulang, aku sebenarnya merasa tak ingin kembali ke sekolah juga—nomong-ngomong soal siang hari sesudah upacara penutupan, benar-benar masih ada banyak orang yang sedang mengikuti kegiatan ekskul.
Aku kurang suka orang-orang yang bekerja terlalu keras.
Yah, aku tak seantusias itu soal kegiatan ekskul yang berlangsung di sekolahku sih. Kecuali saat tahun lalu, ketika ada murid baru raksasa mirip monster yang baru bergabung di sekolah kami tahun itu, yang entah bagaimana secara tak sengaja turut serta dalam klub bola basket perempuan; apa yang terjadi berikutnya kemudian diringkas dengan ungkapan-ungkapan seperti “Keikutsertaan saja memiliki arti!” bila urusannya menyangkut klub-klub olahraga.
Jadi intinya, aku hanya sedang berjalan-jalan di sekeliling wilayah sekolah seperti itu, lalu walau tak ada niatan, aku mulai berpikir bahwa mungkin sudah waktunya aku kembali ke tempat parkir sepeda dan pulang ke rumah—bagaimanapun, aku lapar—dan secara mengejutkan, kudapati ada orang lain yang juga tengah berada di sana.
Mengingat sekarang liburan musim semi, mungkin agak susah menetapkan apakah aku seorang siswa kelas dua atau kelas tiga, tapi untuk sekarang, biarlah kukatakan bahwa siswi populer yang seangkatan denganku—Hanekawa Tsubasa, saat itu tengah berjalan di hadapanku.
Aku sedang bertanya-tanya soal apa yang sedang dilakukannya dengan kedua tangan di belakang kepala; walau kenyataannya, dia sedang merapikan kepangan rambutnya. Kepangan selang-seling memanjang yang merapikan rambutnya yang panjang. Walau gaya rambut kepang bukan sesuatu yang lazim dilihat belakangan, dirinya membiarkan poninya lurus.
Dirinya juga masih berseragam sekolah.
Sama sekali tanpa pembedaan. Panjang roknya sepuluh sentimeter.
Rok hitam.
Dan dirinya masih mengenakan sweater seragam di atas blusnya.
Turut menjadi bagian dari seragamnya pula adalah kaus kakinya yang putih dan sepatu sekolah yang dikenakannya.
Penampilannya benar-benar mencerminkan citra seorang murid teladan.
Dan yah, dia memang seorang murid teladan semenjak awal kok.
Seorang murid teladan dari sananya, seorang ketua murid dari sananya.
Aku berbeda kelas dengannya semasa kelas satu dan dua, yang mungkin menjadi alasan mengapa ia tak tahu tentangku; tapi aku pernah mendengar tentang dirinya yang memiliki pembawaan selayaknya ketua kelas.
Karena apa yang kudengar tentangnya barulah sebatas rumor, walau mungkin kebenarannya hanya setengah, mungkin pada kenyataannya dirinya memangmemiliki bawaan untuk menjadi ketua kelas.
Aku yakin dia jenis orang yang masih akan menjadi ketua kelas, termasuk nanti sesudah kami naik ke kelas tiga.
Dan nilai-nilainya bagus-bagus.
Mungkin aneh jika aku mengekspresikannya begini, tapi Hanekawa Tsubasa adalah gadis yang benar-benar pintar, saking pintarnya sampai nyaris abnormal. Mendapatkan nilai sempurna dalam setiap ujian baginya merupakan suatu hal lumrah. Dan itu karena, bila orang lain yang mengambil tes akan terkejut mendapati diri mereka di peringkat pertama, dalam kasus Hanekawa Tsubasa, diaselalu menjadi peringkat teratas dalam dua tahun terakhir ini.
Mereka yang bersekolah di sekolah elit swasta seperti SMA Naoetsu, seperti diriku, akan langsung dibuat rapuh dalam sekejap mata, dan hadir hanya sebagai bagian dari ujung berlawanan dari spektrum; perbedaannya benar-benar separah itu.
Hmm.
Jadi, untuk saat itu, perhatianku pada akhirnya teralihkan padanya.
Kurasa, mengingat kami berasal dari kelas yang berbeda, sekalipun aku mengenal dirinya, dan walau aku sendiri jarang melihatnya—aku agak terkejut melihat orang seperti dirinya, berada di tempat seperti ini, sesudah upacara penutupan tahun ajaran usai.
Yah.
Yang namanya kebetulan memang terjadi dari waktu ke waktu.
Kelihatannya dia sendiri baru saja keluar dari gerbang sekolah, dan sesudah memikirkannya baik-baik, mempertimbangkan bagaimana aku sendiri berkeliaran sampai sejauh ini, kehadirannya di sini tak sepenuhnya mengherankan kok.
Tentu saja, Hanekawa tak terlihat mengenaliku.
Dirinya sepertinya sedang berkonsetrasi pada kepangan rambutnya, nyaris seakan tak memperhatikan atau bahkan menyadari aku atau sekelilingnya—yah, sekalipun aku terlihat olehnya pun, kurasa Hanekawa dan aku palingan hanya akan mengangguk pada satu sama lain.
Hahaha.
Atau, murid teladan seperti Hanekawa mungkin malah akan benci pemalas tanpa kerjaan sepertiku.
Gadis yang serius, dan cowok pemalas sepertiku.
Mungkin memang akan lebih baik seandainya ia tak pernah mengenalku.
Kami benar-benar hanya akan saling berpapasan dengan satu sama lain seperti ini.
Walau aku berbicara seperti ini, pada kenyataannya tak ada alasan bagiku untuk sampai berbalik dan lari.
Akupun pada akhirnya hanya terus berjalan dengan kecepatan yang sama, seolah berpura-pura kalau aku tak menyadarinya—dan jika masing-masing dari kami mengambil lima langkah lagi, maka kami berdua dengan aman akan melewati satu sama lain; atau sesuatu semacam itu.
Aku…
Mungkin tak akan pernah melupakan momen ini seumur hidupku.
Tiba-tiba saja—ada angin bertiup dari arah depan.
“Ah…”
Yah.
Aku tahu-tahu telah mengucapkannya tanpa sadar.
Bagian depan dari rok sepuluh senti berlipat agak panjang milik Hanekawa telah tertiup ke atas.
Normalnya, seorang gadis akan segera mendorong kembali bagian itu secara refleks—tapi pewaktuannya agak buruk, karena kedua tangannya sedang terangkat ke belakang, masih mengurusi kepangan rambutnya dengan cara yang rumit. Seandainya kau melihatnya dari posisiku, Hanekawa tampak seperti sedang berpose, dengan sepasang tangannya terlipat di belakang kepala. Seperti itulah pemandangannya.
Itulah situasinya berkenaan roknya.
Segala sesuatu di baliknya menjadi terlihat.
Bukan karena mencolok—lebih karena, mengingat itu pakaian dalam yang elegan, keadaannya seakan kau tak bisa mengalihkan perhatianmu karena keindahannya.
Tampilannya bersih dan putih murni.
Bukan karena menjurus atau apa; hanya saja porsi yang terlihat lumayan besar. Jarak antar sisinya cukup lebar, dan kainnya lumayan tebal—bukan karena menjurus atau apa, tapi pengertian macam itu bisa menandakan minimnya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis.
Namun, aku masih mengingat jelas kilau menyilaukan dari warna putihnya itu.
Dan permukannya sama sekali tak polos.
Ada pola latar belakang putih terenda pada bagian tengahnya—mungkin dalam bentuk susunan bunga. Simetri polanya dari sisi kiri dan kanan secara menakjubkan menghadirkan keseimbangan. Dan persis di tengah itu semua hadir sebuah pita.
Pita tersebut semakin memperdalam intensitas dari itu semua.
Terlebih lagi, persis di atas pakaian dalamnya itu tampak sebuah pusar yang indah. Roknya telah terlipat sampai sedemikian rupa sampai bagian tubuh satu itu menjadi terkesan agak nakal. Kau bahkan sampai bisa menyaksikan bagaimana keliman roknya terlihat. Aku tak pernah menyangka keliman sebuah pakaian bisa sampai begitu merangsang.
Yah, aku merasa lapisan rok itupun menyegarkan. Seakan itu memiliki keberadaan sakral saat hadir, dan bentuknya memberiku gambaran tentang bagaimana persisnya susunan jenis pakaian yang kita namakan rok.
Dan terbaik dari itu semua, pemandangan rok tertiup ke atas itu indah.
Dan di samping itu, warna putih murni dari pakaian dalamnya benar-benar patut menjadi bahan pembicaraan, bersama bentuk pahanya dan warna biru tua roknya yang kontras sebagai latar belakang membuatnya terlihat luar biasa menonjol. Membandingkannya dengan rok-rok panjang lain yang dikenakan perempuan, rok ini merupakan mahakarya seni anggun yang melampaui segalanya. Lipatan-lipatan yang hadir dalam rok berlipat itu terlihat seperti beludru.
Sebagaimana yang bisa dibayangkan, keadaannya membuat ia seolah sedang memamerkan pakaian dalamnya padaku, dengan kedua tangannya terangkat ke belakang kepala.
Dirinya.
Hanekawa Tsubasa, pada akhirnya tidak bergerak sedikitpun.
Mungkinkah ini sebenarnya terencana?
Ekspresi wajahnya membuka, tatkala ia bertahan di pose itu, pada saat roknya terangkat ke atas.
Kurasa semuanya berlangsung hanya dalam hitungan sedetik.
Tapi aku merasakannya bagaikan satu jam—baiklah, mungkin aku merasa seolah melihat sebuah halusinasi, kilasan peristiwa seakan saat ketika aku mau mati. Apa yang kusaksikan dalam sekejap ini, seakan kualami untuk seumur hidupku, dan ini sama sekali bukanlah sebuah ungkapan yang berlebihan.
Sampai ke titik di mana permukaan bola mataku kering.
Bagian bawah tubuhnya telah merenggut perhatianku.
Aku, tentu saja paham—tentu saja aku paham kalau sopannya aku tanpa suara mengalihkan pandangan ke arah lain.
Karena ini hal normal, bahkan akupun bisa melakukannya.
Seandainya aku sedang menaiki tangga dan ada perempuan di depanku, setidaknya aku akan cukup mempunyai ketahanan mental dan dedikasi untuk mempertahankan arah pandangku ke kedua kakiku sendiri.
Tapi, mengingat aku bukan manusia sempurna, aku akan melihat segalanya dengan mata melotot seperti ini bila berkah-berkah tak terduga seperti ini hadir dengan begitu saja, pada saat-saat aku tak siap.
Seakan wujud sosok Hanekawa telah sampai terbakar ke dalam retinaku.
Seandainya saja aku tiba-tiba meninggal saat inipun, dan bola mataku dicangkokkan untuk orang lain, maka orang tersebut pasti akan berhalusinasi tentang celana dalam Hanekawa untuk seumur hidup mereka.
Sebesar itulah dampaknya bagiku.
Yah, dengan celana dalam seorang siswi teladan, setidaknya.
“… … … …”
Yah…
Sebenarnya sampai sepanjang apa aku akan mendeskripsikan celana dalam seorang siwi teladan?
Sebagaimana yang sudah dikira, kesadaranku kembali saat rok Hanekawa akhirnya kembali jatuh ke bawah.
Sungguh, semuanya benar-benar berlangsung hanya selama sesaat.
Kemudian, Hanekawa…
Dia melihat ke arahku—seakan tengah merencanakan sesuatu.
Dia memandangiku.
“… … umm …”
Woah,
Ini adalah waktu yang buruk untuk berinteraksi dengannya.
Apa yang harusnya kulakukan di saat seperti ini?
“Aku … Aku enggak melihat apapun, oke?”
Aku coba melontarkan sebuah kebohongan yang jelas.
Tapi, Hanekawa mengabaikan kebohonganku yang jelas itu, dan terus saja memandangiku, tampak seolah usai membereskan kepangan rambutnya, meletakkan tangannya ke bawah kembali, dan walau sudah agak terlambat, ia menepuk-nepukkan roknya ke arah bawah.
Walau sebenarnya sudah sangat terlambat.
Dan selama sesaat, ia mengalihkan tatapannya, seakan memandang langit, dan kemudian memandang ke arahku lagi, sembari berkata:
“Ehehe…”
Seperti itu.
Kenapa dia malah bersikap segan?
… Oh.
Kau akan menertawakan ini?
Dia benar-benar seorang perempuan yang beradab—sebagaimana yang sudah kuduga dari seseorang yang sudah menjadi ketua murid dari sananya.
“Kalau sudah terlanjur begini, apa lagi yang bisa kukatakan, ya?”
Tap, tap, tap, drap.
Dengan cara seakan menggunakan kedua lututnya sebagai bantalan, Hanekawa melangkah ke arahku, kedua kakinya terapit pada satu sama lain.
Mendekat dari jarak sepuluh langkah ke jarak sekitaran tiga langkah.
Agak terlalu dekat untuk sebuah jarak.
“Mau dipikir bagaimanapun, rok punya tingkat pengamanan lumayan rendah untuk menyembunyikan hal-hal yang kau tak ingin orang lain lihat. Mungkin… lapisanfirewall tambahan seperti legging dibutuhkan kali ya?”
“Ma, mana aku tahu …”
Rasanya mengganggu bila kau mengatakannya dengan konsep seperti itu.
Tunggu, jadi aku virusnya?
Aku tak yakin persisnya apa—apa persisnya yang membuatnya terlihat senang, tapi tak ada siswa Naoetsu lagi yang berada di sekeliling kami.
Hanya ada aku dan Hanekawa.
Itu berarti hanya aku seorang yang barusan melihat pakaian dalamnya.
Kenyataan itu memberiku sedikit kebanggaan sebagai satu-satunya manusia yang menjadi saksi adegan tadi, tapi bukan itu inti yang semestinya kubahas sekarang.
“Tadi aku sedang mempraktekkan semacam Hukum Murphy. Mungkin baiknya dibilangnya begitu ya? Jika kau melipat kedua tangan ke belakang, dan rokmu tiba-tiba saja terangkat sepengetahuanmu, misalnya—bagian belakangnya terlindungi, tapi tanpa disangka ada titik lemah yang akan muncul di bagian depan.”
“Ah … Iya, kurasa.”
Entahlah.
Atau mungkin lebih tepatnya, canggung.
Hanekawa sama sekali tak berniat, atau sekalipun iya, sepertinya ia sedang memarahiku dengan cara yang agak tidak langsung—dibilang begitu, jika kau memperhatikan situasinya baik-baik, dia tak berada dalam keadaan di mana ia bisa membujuk orang, dan kenyataan bahwa aku telah menjadi saksi dari ‘sesuatu yang kau tak ingin orang lain lihat’ dari seorang wanita, sekalipun secara tak sengaja, membuat aku merasa bersalah.
Terlebih lagi, senyumannya itu …
Sebaiknya aku tak membiarkan pembicaraan ini berlangsung lebih lanjut.
“Y, yah, soal yang tadi jangan kuatir! Mungkin memang bohong soal tadi aku enggak sempat lihat, tapi bagian bawahnya tadi memang enggak kelihatan banyak kok …”
Perkataan yang satu ini juga bohong.
Bahkan nyaris melanggar hukum, kalau melihatnya baik-baik.
“Uh, um, hm?”
Hanekawa memiringkan kepalanya.
“Kupikir, si gadis akan merasa jauh lebih tenang kalau kau mengatakan kaumelihatnya sejak awal.”
“Um, um, aku ngerti ada banyak yang bisa kamu katain, tapi jujur aku tak sedang berusaha menipu atau apa kok.”
“Begitu, jadi kamu tak sedang mencoba menipu.”
“Ya, dan maaf karena tadi sempat membuatmu enggak tenang. Mungkin lebih baik sekalian saja tadi kamu membohongiku.”
Kata-kata dari seorang lelaki yang baru saja berbohong beberapa saat lalu.
“Ini cuma perasaanku, atau memang penjelasan tentang rokku bisa sampai mencapai empat halaman ya?”
“Me, me, memang bisa kok! Sampai detik terakhir tadi, aku menggambarkan sebuah adegan yang indah dan emosional.”
Yang kali ini bukan kebohongan, meski memang agak berbahaya.
“Kalau begitu, sekarang aku pergi ya.”
Dan mengangkat tangan dengan ringan, mengisyaratkan pada Hanekawa bahwa aku tak ingin meneruskan pembicaraan ini lebih lanjut, aku berjalan lebih dulu.
Dengan langkah tergesa.
Aaah, gimana nih!
Hanekawa mungkin sekarang akan pulang dan menyurel teman-temannya soal gimana aku sampai melihat celana dalamnya. Aku tak yakin seorang murid teladan akan melakukan hal seperti itu sih, dan mengingat dirinya seorang murid teladan, aku lumayan yakin dia tak akan. Yah, Hanekawa mungkin tak tahu namaku … tapi kurasa hanya sebatas itu yang akan diketahui oleh sesama siswa dalam satu angkatan.
Menyadari sikapku bisa membuatku terkesan agak terlalu sadar diri, aku memperlambat langkahku, dan kemudian,
“Tunggu sebentar!”
Terdengar suara dari belakang.
Itu suara Hanekawa.
Apa, dia datang mengejarku!
“Akhirnya terkejar juga. Langkahmu cepat juga ya.”
“… Kamu belum mau pulang?”
“Hm? Yah, aku memang mau pulang, tapi kamu sendiri kenapa mau balik ke sekolah, Araragi?”
“… … …”
Ternyata dia tahu namaku.
Eeeeh?
Padahal aku tak punya label nama atau semacamnya, lho!
“… Ah, anu, aku mau mengambil sepedaku.”
“Oh, jadi kamu pulang pergi pakai sepeda, ya?”
“Yah, ya … Jarak ke rumahku lumayan jauh dari sekolah, soalnya …”
Hei, bukan ini yang mestinya kuomongin!
Walau sepertinya dia memang tak tahu bahwa aku pulang pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda.
“ … Kenapa kamu bisa tahu namaku?”
“Eh? Ya, tahu dong. Kita sama-sama satu sekolah, ‘kan?”
Hanekawa mengatakannya seakan itu hal yang lumrah.
Sekolah yang sama, katamu? Kau membuatnya terdengar seolah semua murid sekolah ini berada dalam satu kelas!
“Araragi, mungkin kamu sendiri tak mengenalku, tapi nama Araragi sebenarnya cukup terkenal lho.”
“Apa?”
Aku langsung bertanya tanpa pikir panjang.
Bukannya namamu yang terkenal?
Dan lagian, aku bisa diibaratkan kayak kerikil di pinggir jalan di SMA Swasta Naoetsu—rasanya bahkan mencurigakan jika teman sekelasku sendiri sampai ada yang tahu nama lengkapku.
“Hm? Kenapa Araragi? Apa ada sesuatu yang salah?”
“… … …”
“Dengan menuliskan ‘a’ dalam bentuk ‘ka’ dari kanji ‘kanou’ yang berarti ‘kemungkinan’, lalu diikuti dua ‘ra’ dari kanji ‘ii ko’ yang berarti ‘anak baik’, dan ditambah ‘gi’ dari kanji ‘jumoku’ yang berarti ‘pepohonan dan semak’, maka kau dapat Araragi. Lalu nama kecilmu adalah ‘koyomi’ dari ‘hoshitsuki no koyomi’ yang berarti ‘kalender tahunan’ ‘kan? Makanya nanamu Araragi Koyomi.”
“… …”
Dia juga bahkan tahu nama lengkapku serta cara penulisan kanjinya!
Kamu pasti bercanda …
Karena kini dia sudah mengetahui wajah dan namaku, seandainya saja dia memiliki Death Note, maka mungkin sekarang aku sudah mati …
Sebenarnya, mungkin aku tetap saja akan mati mengingat kehadirannya di depanku sekarang.
“Kamu —Hanekawa.”
Aku mengatakan itu padanya, sebagai bentuk balasan, sebagai tanda aku pantang menyerah, tanpa memberi anggukan pada kata-katanya.
“Hanekawa Tsubasa.”
“Wuaa!”
Hanekawa terlihat sangat terkejut.
“Aku tak menyangka kamu juga tahu namaku!”
“Satu-satunya orang yang mendapatkan nilai sempurna dalam ujian caturwulan terakhir, olahraga, dan seni rupa itu pasti cuma kamu, Hanekawa Tsubasa.
“Eh? Hei, yang benar dong! Kok bisa kamu tahu sebanyak itu?”
Hanekawa terlihat lebih terkejut lagi.
Sepertinya dia tak sedang berpura-pura.
“Eh, apa mungkin, sebenarnya kamu penguntitku, Araragi? Ah, tapi kalau sejauh itu, mungkin aku yang terlalu paranoid?”
“… Bukan seperti kok.”
Apapun alasannya—sepertinya dia sama sekali tak menyadari bahwa dirinya terkenal.
Dia mungkin berpikir bahwa dirinya ‘normal’.
Kurasa pada dasarnya dia memang gadis normal, hanya saja dia agak lebih serius dibandingkan kebanyakan orang, mungkin?
Di samping itu, kurasa aku sudah bersikap agak enggak sopan dengan memperlakukan seseorang yang terkenal seperti ini—yah, aku memang rapuh, jadi masuk akal saja bila aku menyadari hal ini.
Meskipun begitu, sesudah mengutarakan itu semua, menjelaskan hal ini sebenarnya tak ada gunanya sama sekali …
Dengan selayaknya aku kemudian menanggapi.
“Aku mendengar tentangmu dari teman-temanku yang alien.”
“Eh? Memang kamu punya teman, Araragi?”
“Mestinya kamu tanya dulu apa alien itu beneran ada apa enggak!”
Ah, dalam pertemuan pertama saja sudah dipaksa jadi ‘si pelawak’ seperti ini …
Tapi, yang tadi memang agak tak soan, sekalipun aku sadar kalau dia tak bermaksud buruk.
“Yah, umm,”
Menyadarinya sendiri, sebagaimana yang kuduga, dia jadi terlihat malu sendiri karena telah mengatakan itu.
“Habisnya, kamu terlihat seperti jenis orang yang lebih banyak berkeliaran sendirian, Araragi.”
“Apa orang seperti itu bahkan bisa dikatakan baik?”
Walau aku tahu kali ini pembicaraannya adalah tentangku.
Kelihatannya, Hanekawa benar-benar tak bisa memutuskan.
“Yah, kayak yang kamu bilang, aku memang enggak punya teman. Lagipula kamu terkenal, bahkan sampai bisa mengenali mereka-mereka yang enggak punya teman.”
“Hei, jangan malah bersikap begitu dong!”
Hanekawa menjadi sedikit tersinggung.
Dia tipe perempuan yang akan tertawa malu-malu, bahkan sesudah memamerkan secara berani apa yang ada di balik roknya seperti itu.
“Aku tak suka candaan seperti itu. Tolong, jangan ganggu aku dengan cara begitu lagi.”
“… Baik.”
Aku membenarkan perkataannya begiu saja, karena menyanggahnya hanya akan berlanjut pada pertengkaran.
Ya ampun.
Aku kini berdiri di perempatan lampu merah di depan gerbang sekolah—dan Hanekawa ada di sana bersamaku.
… … …
Kenapa dia malah mengikutiku?
Apa ada barangnya yang tertinggal di sekolah?
“Hei, Araragi.”
Persis saat aku berpikir demikian…
…Hanekawa mengatakan ini.
“Apa kamu percaya kalau vampir ada, Araragi?”
“… … …”
Aku sedang berpikir, Kali ini dia sedang membicarakan apa?
Lalu aku menyadarinya pada saat berikutnya.
Oh ya, seperti dugaanku, pada kenyataannya dia memang malu karena aku sempat melihat celana dalamnya, dalam situasi damai begini.
Alasannya cukup jelas.
Aku memang bukan seseorang yang dikenal, tapi Hanekawa tentunya tahu tentangku—dan bahkan punya gambaran tentang lingkup pergaulanku (soal aku yang tak punya teman).
Lalu dia mungkin telah mendengar beberapa kabar kurang baik tentangku.
Jika begitu, membiarkan orang sepertiku mengamati celana dalamnya dengan begitu mendetil, dengan status dirinya sebagai murid teladan… bukan, mungkin malah tidak aneh jika menyebutnya sebagai kesalahan karena telah membiarkanku melihatnya.
Yang dengan begitu menjadi alasan mengapa ia menyusulku sekarang, kurasa.
Jadi rencananya adalah untuk mengacaukan ingatanku sedemikian rupa agar aku tak lagi teringat tentang pakaian dalamnya lagi; dan karena itu ia tak bisa membiarkan kami berpisah secara cepat, dan ia menyusulku seperti sekarang ini agar kamii bisa berbicara lagi.
Hmph.
Dasar murid teladan naif!
Kenanganku tentang celana dalamu takkan ternodai sekalipun kau kini mengangkat topik aneh seperti vampir!
“Kenapa soal vampir?”
Yah, meski demikian, karena kupikir ini bisa memuaskannya, aku menuruti pergantian subjek pembicaraannya. Ini bukan hal yang enggan kulakukan, terlebih mengingat dirinya telah memperlihatkan celana dalamnya padaku sebelumnya.
“Jadi, belakangan aku banyak dengar kabar. Soal adanya vampir yang berkeliaran di kota, jadi sebaiknya kau tak berkeliaran sendirian di luar rumah pada malam hari.”
“Itu agak enggak jelas … apalagi kabarnya susah dipercaya.”
Aku memberinya pendapatku sejujurnya berkenaan itu.
“Dan lagi kenapa bisa ada vampir di kota terpencil seperti ini?’
“Entahlah.”
“Vampir itu setan dari luar negeri, ‘kan?”
“Aku pikir pengertianmu salah jika menyebutnya sebagai ‘setan’.”
“Kalau kamu mau ngejatuhin vampir, kurasa enggak masalah jika kamu perginya dengan sekitar sepuluh orang, kan?”
“Yah, tentu!”
Ahaha, Hanekawa tertawa.
Cara tertawa yang riang.
… Kesanku terhadapnya sebelumnya sedikit berbeda.
Aku sebenarnya sudah dibuat agak tak nyaman dengan ini semenjak tadi.
Mengingat dirinya murid teladan sekaligus ketua kelas dari sananya, aku mengira kepribadiannya akan lebih kaku.
Sebaliknya, dia ramah, makanya rasanya agak aneh.
“Tadi sudah ada banyak saksi mata.”
“Kesaksian dari saksi mata? Menarik juga. Yakin mereka tak sampai dibayar pakai uang buat ngebikin kesaksian?”
“Yah, tak ada hubungannya dengan uang atau apa kok.”
Hanekawa menjelaskan bahwa kabar itu beredar di kalangan anak-anak perempuan saja.
“Bukan hanya perempuan di sekolah ini—perempuan-perempuan yang suka berpergian di sepanjang jalan ini juga sering membicarakannya. Walau aku mesti tekankan rumor ini cuma tersebar di kalangan perempuan saja.”
“Sebuah rumor yang hanya tersebar di kalangan perempuan ya … rasanya aku pernah dengar sesuatu mirip ini sebelumnya.”
Tapi, seorang vampir?
Kabar burung ini benar-benar sampai sebegitunya ya?
“Katanya sosoknya berupa wanita cantik berambut pirang—yang tatapan matanya saja bisa membuat bulu kuduk merinding.”
“Itu detil yang lumayan jelas. Tapi, memang kamu bisa menilai apakah orang vampir atau bukan cuma dari itu? Mungkin dia manusia biasa, hanya saja rambutnya yang pirang bikin dia kelihatan mencolok?”
Bagaimanapun juga, kami sedang berada di wilayah pinggiran sebuah kota kecil.
Di tepian luar kota.
Kau takkan melihat orang lain yang mencolok selain mereka yang punya rambut coklat.
“Tapi. …”
Hanekawa melanjutkan.
“Aku dengar rambut—pirang panjangnya sampai bisa bercahaya di bawah lampu jalan yang berkilat-kilat.”
“Begitu ya …”
Seorang vampir.
Jika kau memperhatikannya baik-baik, nuansanya memang seperti sebuah kata bermakna kuno, tapi akupun tak tahu detil selebihnya di balik itu. Walau begitu, jika bicara tentang vampir, ada satu hal jelas—mereka konon tak pernah punya bayangan.
Karena mereka lemah terhadap matahari.
Walau begitu, masih ada malam hari.
Kau tak bisa salah menilai seseorang hana karena ada lampu jalan yang berkilat-kilat di dekatmu—di samping itu, bukannya rasanya semakin seperti kebohongan, jika di dalam rumor itu ada semacam latar seperti lampu jalan?
Buat sebuah kebohongan itu rasanya terlalu berlebihan, terlalu murahan.
“Yah, terserahlah.”
Walau aku mengatakan jawaban yang kasar seperti itu, maksudnya bukan untuk menyinggung perasaan Hanekawa, tapi lebih pada caraku menyatakan persetujuanku terhadapnya.
Aku lumayan jago berbicara, dan sekaligus lumayan jago mendengarkan.
“Ya, mungkin rumor itu memang konyol. Tapi akibat rumor itu, belakangan makin sedikit perempuan yang keluar malam, jadi mungkin rumor itu hal baik untuk ketertiban masyarakat.”
“Yah, ada soal itu juga sih.”
‘Tapi terus begini,”
Hanekawa sedikit menurunkan nada ucapannya.
“Seandainya vampir itu benar-benar ada, aku sebenarnya ingin bertemu dengannya.”
“…Kenapa?”
Yang benar saja.
Perkiraanku sebelumnya mungkin salah.
Tentunya, dia menggunakan topik pembicaraan konyol ini untuk menyingkirkan soal celana dalam tadi dari ingatanku—tapi terlepas dari itu, cara Hanekawa berbicara tentang hal ini agak terlalu sungguh-sungguh.
Di samping itu, memikirkannya lagi sekarang, membicarakannya dengan anak cowok sepertiku, yang masih sedang mengenakan seragam sekolah, tentang sebuah ‘rumor yang hanya beredar di kalangan anak-anak perempuan’, rasanya agak sedikit aneh.
“Kau akan mati jika darahmu sampai disedot oleh mereka, lho.”
“Yah, aku bukannya mau mati. Gimana ya, mungkin aku memang tak sampai mau bertemu dengannya. Tapi kupikir mungkin bagus jika semacam—sosok yang melebihi manusia macam dirinya benar-benar ada.”
“Melebihi manusia, maksudnya kayak dewa?”
“Enggak harus dewa, sih.”
Hanekawa terdiam untuk beberapa lama, seolah sedang memilih kata-katanya. Dan akhirnya,
“Sebab kalau enggak, enggak akan ada arti yang keluar darinya, kan?”
Begitu katanya.
Lalu, tiba-tiba …
… lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.
Tapi Hanekawa, ataupun aku, sama-sama tak bergerak.
Kami sama-sama terpaku di sana.
Lalu aku tak bisa memastikan apakah yang Hanekawa katakan adalah main-main, atau memang sesuatu yang sungguh-sungguh ingin ia sampaikan—keadaannya seolah ada sesuatu saat itu yang menghubungkan kami berdua.
“Oh, ya ampun!”
Dia memperlihatkan kesan bahwa dirinya mengatakan itu cepat-cepat, pada saat aku terpekur dalam pikiranku sendiri.
“Araragi, di luar dugaan kamu mudah diajak bicara, ya. Walau mungkin, karena kelepasan, aku malah mengatakan sesuatu yang bikin kamu merasa aneh.”
“Ah—enggak, bukan masalah kok. Aku enggak keberatan.”
“Rasanya aneh karena kamu gampang diajak bicara, tapi malah tak punya teman. Kenapa enggak nyoba nyari?”
Dia mengajukan pertanyaan itu padaku secara langsung.
Mungkin tidak dengan maksud buruk.
Bukannya aku tak mencari, tapi aku memilih untuk tak punya, tapi, bahkan akupun agak enggan menjawab seperti itu dalam situasi seperti ini.
Karena itu—pada saat itu, aku menjawab begini.
“Alasannya karena aku tak pandai berteman.”
“…Eh?”
Hanekawa—menampakkan sebuah ekspresi datar begitu mendengar itu.
“Maaf, sepertinya aku tak paham.”
“Yah … maksudku, keadaannya begini.”
Oh sial.
Ini enggak akan berakhir baik.
“Begini, jika aku punya teman, maka aku akan harus mencemaskan mereka ‘kan? Jika temanku ada yang terluka, maka aku juga akan terluka. Jika temanku ada yang sedih, maka aku juga akan sedih. Kalau melihatnya begitu, maka sisi lemahnya akan semakin bertambah. Itu yang jadinya malah akan melemahkan kita sebagai orang.”
“… Tapi, kalau mereka senang, bukannya kamu juga ikut senang, lalu kalau mereka bahagia, bukannya kamu juga ikut bahagia, bukannya keadaannya memang seperti itu? Sisi lemahnya memang akan bertambah. Tapi bukannya sisi baiknya akan bertambah juga?”
“Yah…”
Aku menggelengkan kepala.
“Aku merasa dengki pada teman-temanku yang senang, dan aku merasa iri pada saat ada temanku yang bahagia.”
“… … …Manusia memang makhluk yang rendah.”
Hanekawa akhirnya memutuskan berkata.
Biarkan saja aku sendiri.
“Sekalipun segalanya memang seperti yang kamu bilang tadi, maka total semuanya akan kembali ke nol lagi, kan? Tidak ada bedanya apakah kamu punya teman atau enggak. Malah, karena ada banyak hal buruk yang terjadi di dunia ini—pada akhirnya, bukannya ujung-ujungnya bakalan tetap negatif?”
“Jangan bicarakan sesuatu yang rumit.”
Aku membantah apa yang ia katakan tentang diriku yang mudah diajak bicara.
Hanekawa memang mengatakannya seperti itu.
Kurasa kami memang sudah menghabiskan terlalu banyak waktu membahas soal ini—yah, sudahlah.
Tak ada cara untuk meluruskan kesalahpahaman ini dengan mudah.
“Jadi begini, yang aku inginkan adalah menjadi sayuran.”
“Sayuran?”
“Aku jadi tak perlu jalan atau ngomong.”
“Hmm.”
Untuk sekarang, Hanekawa tak membantah perkataanku.
“Tapi itu berarti masih ingin menjadi benda hidup, kan?”
“Hm?”
“Lazimnya, kalau begitu, kamu akan bilang kalau kamu ingin menjadi suatu benda mati, seperti batu atau logam.”
Secara mengejutkan, Hanekawa menjelaskan sesuatu yang sebelumnya tak kusadari.
Aku semula memang ingin sejak awal langsung mengatakan ingin jadi sayuran, tapi tak kusangka aku malah akan langsung disanggah bila memakai cara pengungkapan ini.
Hmm.
Begitu ya—benda mati, ya?
Benar sih, yang namanya sayuran masih bisa dikatakan ‘benda hidup’.
“Aku mau ke perpustakaan sekarang.”
“Hm?”
“Aku jadi merasa ingin ke sana sekarang sesudah bicara denganmu, Araragi.”
“… … …”
Sebenarnya, cara kerja pikiran gadis ini bagaimana sih?
Yah, sebelumnya dia memang bilang kalau dia mau pulang atau semacamnya sih—jadi mungkin semenjak awal dia memang sedang tak punya rencana. Dia juga sedang punya waktu luang sepertiku, jadi apa dia akan menghabiskannya dengan berkeliaran di sputaran sekolah atau dengan pergi ke perpustakaan?
Mungkin di situlah letak perbedaan orang terpinggirkan sepertiku dan murid teladan seperti dirinya.
“Besok, perpustakaan akan tutup karena hari Minggu, jadi aku mesti pergi ke sana hari ini.”
“Hmm.”
“Apa kamu mau ikut, Araragi?”
“Kenapa?”
Aku tersenyum pahit.
Perpustakaan.
Aku bahkan tak tahu ada sesuatu macam perpustakaan di kota ini.
“Memang di sana kamu bakal melakukan apa?”
“Yah, belajar, ‘kan?”
“Uh, yah …”
Kali ini aku yang kehilangan kata-akata.
“Sayangnya, aku bukan jenis orang yang layak dipuji karena bisa belajar sendiri tanpa PR buat dikerjakan selama liburan musim semi.”
“Tapi tahun depan kita sudah menghadapi ujian kelulusan, ‘kan?”
“Baik ada ujian atau enggak … aku sebenarnya agak takut buat lulus. Sekarang mungkin sudah telat sih. Seenggaknya, aku mesti nyoba biar enggak sering datang terlambat di tahun ajaran baru nanti.”
“… Hmm.”
Hanekawa—bergumam, dengan cara yang agak membosankan.
Seakan ia tak sungguh-sungguh bermaksud mengajakku ikut dengannya ke sana.
Tapi Hanekawa tak mengatakan apa-apa lagi.
Aku bertanya-tanya.
Untuk seseoang yang kepribadiannya tak bisa dikatakan termasuk golongan elit kelas atas, dia termasuk seseorang yang agak sulit dimengerti.
Lampu lalu lintas di dekat kami terus berubah warna antara hijau dan merah.
Sekarang warnanya hijau.
Mungkin saat warnanya berubah ke hijau lagi nanti akan menjadi sat kami akan berpisah, pikirku—setidaknya pewaktuannya akan bagus.
Hanekawa pastinya berpikiran seperti itu juga.
Bagaimanapun dia jelas bukan seseorang yang tak bisa membaca keadaan.
“Araragi, kamu punya ponsel?”
“Heh, ponsel, ya, punya.”
“Boleh pinjam sebentar?”
Mengatakan itu, dia mengulurkan kedua tangannya.
Aku tak yakin dengan apa yang hendak dilakukannya, tetapi untuk saat itu aku menuruti perkataannya, mengambil telepon genggam dari sakuku dan menyerahkannya ke Hanekawa.
“Oh? Model baru.”
“Mereka mengganti jenis perlengkapannya belakangan. Yang ini agak terlalu berlebihan buatku; baru juga dua tahun semenjak kali terakhir mereka meluncurkan model baru dan sekarang sudah ada banyak fungsi baru begini.”
“Jangan bicarakan hal menyedihkan beritu pada saat masih muda dong. Kalau kamu terus begitu, nanti kamu akan tertinggal oleh perkembangan zaman lho. Kalau kamu enggak mahir memakai barang-barang digital, maka kamu pasti bakal jadi kesulitan dalam kehidupan kamu sehari-hari.”
“Apa boleh buat kalau nanti sampai begitu; palingan nanti aku bakal pergi menyepi ke pegunungan. Nanti sesudah semua peradaban manusia hancur, baru aku kembali lagi ke kota ini.”
“Sebenarnya kamu berpikiran akan hidup selama apa?”
Hanekawa bertanya seakan syok, bingung kalau-kalau aku sebenarnya semacam manusia abadi.
Persis sesudah mengatakan itu, Hanekawa mulai mengutak-atik ponselku.
Seorang ketua kelas dari sananya, perwujudan dari nyaris semua sifat yang dimiliki seorang murid teladan, dan juga sebagaimana yang bisa disangka dari seorang siswi SMA, jari-jemarinya luar biasa cepatnya dalam menekan-nekan tombol.
Aku sebenarnya tak khawatir soal adanya informasi pribadiku yang terbaca olehnya … tapi tolong jangan seenaknya bermain-main dengan ponsel punya orang dong.
Atau mungkinkah, sesungguhnya dia punya keraguan, dan bertanya-tanya apakah sebelumnya aku sempat mengambil foto roknya dengan kamera ponsel?
Kalau begitu dia pasti akan memeriksa isi ponselku secara menyeluruh.
Aku sungguh ingin menghapus semua keraguanku yang memalukan ini.
Tapi di sisi lain, jika perempuan mencemaskan banyak hal, bukannya hidup mereka justru bakal ribet? Seandainya dia lelaki, maka saat ritsletingnya lupa ditutup, maka kita bisa tinggal menyebutnya seorang Sexy Commando.
… Apa ungkapan itu bakalan bisa dipakai?
“Nih, sudah. Makasih.”
Tak lama kemudian Hanekawa mengembalikan ponsel itu padaku.
“Aku enggak menyimpan gambar-gambar semacam itu, oke?”
Mengatakan itu, Hanekawa…
“Eh?”
… dengan kebingungan memiringkan kepalanya kembali.
“Gambar?”
Hah?
Jadi dari tadi yang dia lihat itu hal lain?
Apa sebenarnya yang dari tadi dia lakukan?
Aku meragukan apakah kecurigaan yang dimilikinya merupakan semacam gen turunan dalam keluarganya, saat Hanekawa mengatakan itu sembari mengarahkan telunjuknya pada ponsel di tanganku, yang masih belum kumasukkan ke sakuku kembali.
“Aku memasukkan nomor dan alamat e-mailku ke dalamnya.”
“Apa?”
“Sayang sekali. Sekarang kamu punya teman!”
Lalu..
…Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, Hanekawa melintasi penyebrangan pejalan kaki—lampu lalu lintas telah berubah warna menjadi hijau tanpa kesadaanku.
Aku sebelumnya sudah berencana berpisah darinya dengan gaya seperti itu, tapi Hanekawa terlanjur mendahuluiku—hah? Dia tak jadi pergi ke perpustakaan? Tunggu, dia memutuskan untuk ke perpustakaan pada saat sedang bersamaku—kurasa tak aneh jika dia merubah ke mana tujuannya semenjak awal.
Hanekawa melambai kepadaku dari seberang jalan, seakan berkata, “Sampai jumpa!”
Aku membalas lambaiannya secara refleks.
Sesudah dia memastikan bahwa aku melambaikan tanganku (mungkin seperti orang bodoh), Hanekawa berbalik, berbelok ke kanan dari arah gerbang sekolah, dan berjalan dengan cara yang menarik—persis pada saat ia berbelok di tikungan, persis itu pula sosoknya tak terlihat lagi.
Untuk memastikannya, aku memeriksa ponselku.
Persis seperti apa yang ia bilang.
‘Hanekawa Tsubasa’ telah tercantum dalam buku alamat.
Lengkap dengan nomor telepon dan e-mailnya.
Aku tak pernah memanfaatkan fitur buku alamat sebelumnya. Aku bisa mengingat semua nomor telepon yang perlu aku ingat—walau sebenarnya ingatanku tak bagus-bagus amat. Yang terbaik bisa aku ingat hanyalah nomor telepon rumah dan nomor ponsel kedua orangtuaku, jadi itu benar-benar bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Mengingat nomor-nomor itu saja sudah cukup bagiku untuk menerima dan melakukan panggilan telepon.
Masalahnya hanya, karena aku tak punya banyak teman.
Itulah alasannya.
‘Hanekawa Tsubasa’ ini akan menjadi entri pertama dalam buku alamatku.
“Kenapa sih dia. …?”
Caranya bersikap benar-benar di luar pemahamanku.
Teman?
Teman, katamu?
Apa dia benar-benar bisa disebut itu?
Di samping itu, apa yang akan orang katakan tentang seorang gadis muda, yang berbicara untuk pertama kalinya dengan anak lelaki sebayanya yang setidaknya tahu namanya, dan kemudian memberikan informasi kontaknya pada anak lelaki tersebut dengan begitu mudah—atau mungkin, sebenarnya memang aku yang ketinggalan zaman dengan semua ini?
Aku tak mengerti.
Meski begitu—lebih dari sekedar tak mengerti, ada satu hal yang kupahami.
Hanekawa Tsubasa.
Murid teladan dari sananya—seorang ketua kelas dari sananya.
Jauh dari kepribadian seseorang dari golongan elit atas—
“…Dia lumayan luar biasa sebenarnya, ya?”
Seorang ketua kelas dari sananya.
Hanekawa Tsubasa.
Berpapasan dengan seorang gadis sepertinya sesudah upacara penutupan tahun ajaran berakhir, tak lama sesudahnya—walau aku masih dalam keadaan menyambut liburan musim semiku, itu bukanlah inti dari semua ini.
Sekalipun mungkin itu memang sebuah pertanda …
… pertanda itu seakan tak kurasakan sama sekali.
—————————————————————————–
Catatan Kaki:
soal tahun ajaran
Tahun ajaran baru di Jepang dimulai pada musim semi. Jadi berakhirnya caturwulan ketiga sebelum liburan musim semi menandai berakhirnya pula sebuah tahun ajaran.
Minggu Emas
Terjemahan harfiah. Anggap saja liburan nasional yang berlangsung selama seminggu di Jepang.
firewall
Semacam sistem pengamanan pada komputer yang digunakan untuk melindunginya dari virus yang masuk melalui Internet
legging
Celana ketat, lazimnya dipakai perempuan. Istilah yang lazim dipakai untuk menyebutnya di Jepang itu ‘spats.’
Hukum Murphy (Murphy’s Law)
Semacam sebutan untuk pepatah yang intinya: ‘selama ada peluang yang memungkinkan sebuah kesalahan terjadi, maka suatu saat kelas, kesalahan itu pasti terjadi’. Biasanya dipakai untuk membahas urusan-urusan ilmiah di mana ada variabel yang mungkin pada suatu waktu tidak memenuhi ketentuan nilai yang diharapkan. Aku juga enggak tau si Murphy ini siapa.
Death Note
‘Buku catatan maut’ dari komik berjudul sama karya Ohba Tsugumi dan Obata Takeshi, punya kekuatan magis untuk membunuh orang dengan menuliskan nama korban sembari membayangkan wajahnya. Komiknya di sini sudah diterbitkan sampai tamat oleh mnc.
Sexy Commando
Ini referensi terhadap sebuah komik Shonen Jump yang tak terlalu dikenal di Indonesia. Agak gaje, jadi lebih baik digoogle sendiri.
003
Kemudian—
Kemudian, dengan ingatan itu masih segar di kepala, pada malam harinya…
Malam harinya…
Seluruh kota sudah gelap dan aku mengelilinginya dengan berjalan kaki. Tidak ada alasan jelas mengapa pada siang harinya aku mengitari sekolah tanpa menggunakan sepeda, tapi ada alasan jelas mengapa kali ini aku berkeliling kota tanpa menggunakannya.
Jadi sebenarnya, aku punya dua sepeda.
Satu jenis sepeda untuk perempuan yang biasa kupergunakan saat berangkat ke sekolah—sedangkan satunya lagi adalah sepeda gunung, yang merupakan favoritku.
Aku suka menggunakan sepeda yang satunya lagi sekalipun hanya untuk sekedar iseng, tapi pada saat ini aku tak bisa menggunakannya. Jika sepeda yang digembok dengan kuat di lorong masuk rumahku sampai menghilang, maka kenyataan aku keluar rumah akan sampai ketahuan oleh keluargaku.
Tak seperti di masa lalu, sekarang aku sudah dibebaskan oleh keluargaku untuk melakukan apapun yang kumau.
Kau bahkan bisa mengatakan bahwa aku cenderung diabaikan belakangan.
Kenyataannya adalah, tak seperti kedua adik perempuanku, aku tak punya jam malam atau larangan keluar pada malam hari (walau kelihatannya kedua adikku pada akhirnya akan melanggar juga), tetap saja ada saat-saat tertentu ketika aku tak ingin keluargaku tahu bahwa aku sedang keluar malam.
Misalnya, pada saat aku keluar rumah buat membeli buku-buku porno.
“………”
Yah, soal itu…
Aku tahu kedengerannya buruk, tapi kenyataannya adalah aku bisa jelaskan!
Aku… sama sekali tak bisa melupakan celana dalam Hanekawa!
…Apa aku baru saja menggali lubang kuburku sendiri?
Tapi memang kenyataannya begitu.
Walau aku bilang aku takkan melupakannya seumur hidup, aku benar-benar tak mengira citranya akan terbakar sedemikian jelas dalam ingatanku.
Bahkan sesudah Hanekawa pergi, celana dalamnya belum sekalipun menghilang dari ingatanku. Aku sudah berpikir begini saat itu, tapi sesudah 10 jam sesudahnya, dengan ini bisa kukonfirmasikan bahwa, secara pasti, seandainya saja ada orang yang mengimplantasi retinaku, orang tersebut pasti akan mulai berhalusinasi tentang celana dalam Hanekawa.
Sial.
Walau kita berbicara banyak sesudahnya, apa yang meninggalkan kesan terbesar tetaplah celana dalam itu, sebenarnya arti kenyataan ini apa sih? Mungkin ini memang sebuah kenyataan yang bertahan sementara, tapi aku lalu coba menunggu untuk beberapa waktu dan tetap saja satu-satunya yang bisa kuingat hanyalah celana dalam!
Sekalipun dirinya orang baik…
Sekalipun Hanekawa orang yang begitu baik!
Kenyataan itu semakin memperbesar rasa bersalah yang mungkin sebenarnya tak perlu kutanggung.
Perasaan itu menyiksaku.
Hanekawa orang baik, tapi terhadapnya aku memendam sesuatu yang mendekati nafsu binal…
Apa yang menjadi permasalahan, sebenarnya…
Pertanyaan sudah berapa lama aku tak melihat celana dalam secara langsung. Meski ini sekolah yang mengkhususkan untuk persiapan ujian, separuh populasi Sekolah Menengah Naoetsu tetaplah gadis-gadis SMA. Ada juga siswi-siswi yang mengenakan rok-rok pendek karena mengikuti gaya, jadi ada beberapa kesempatan ketika aku sempat melihat sekilas, tapi untuk menyaksikan celana dalam seorang gadis dengan begitu jelas dan begitu sempurna… aku sungguh-sungguh, hal semacam itu bahkan tak pernah kualami semasa SMP.
Mengingat kembali sampai masa SD… tunggu, kalau sejauh itu rasanya tak perlu dibahas.
Jadi begitu, yang tadi memang adalah kali pertama dalam hidupku…
Kesannya, bagaimana mengatakannya ya, seperti komik-komik komedi cinta dari tahun 80an.
Kukira Hanekawa sama sekali tak punya hubungan apa-apa denganku, siapa sangka sebuah ‘flag’ bisa sampai terpicu dengan cara seperti itu.
Sial.
Kejadian tadi keterlaluan.
Aku yakin anak-anak perempuan tak sampai dilanda perasaan seperti ini saat mereka melihat pakaian dalam anak-anak laki-laki.
Ini tak adil!
Hmph, walau sebuah ‘flag’ sampai terpicu, bila memikirkannya secara seksama sekarang, sebenarnya yang terjadi barusan hanyalah kami yang saling berpapasan.
Aku bahkan tak bisa dikatakan menemuinya.
Hanekawa pada saat ini pastinya bahkan lupa telah berbicara denganku pada siang tadi.
Dengan begitu, ini rasa bersalah yang sebenarnya tak perlu kutanggung… kupikir aku pastilah orang berpikiran sempit.
Meninggalkan bahasan soal itu… setelah makan malam aku berpikir mungkin sebaiknya aku melakukan sesuatu soal apa yang kurasakan ini. Pikiran bahwa sesudah ini untuk beberapa lama, salah, untuk seumur hidupku aku harus hidup dengan menanggung gejolak rasa bersalah ini membuat bulu kudukku berdiri.
Dirinya orang baik.
Sekurangnya, dirinya seorang ‘teman.’
Karena itu aku tak tahan—ketahananku sebagai seorang manusia jelas-jelas sedang menurun.
Hal semacam ini malah jadi kukhawatirkan.
Jadilah, sesudah pemandangan di luar jendela kamarku menjadi gelap, aku menggantung plat bertuliskan ‘Sedang Belajar’ di depan pintu kamarku dan secara diam-diam menyusup keluar rumah.
Semua demi mendatangi toko buku besar satu-satunya di kotaku untuk membeli buku-buku nakal.
Misi berjalan sukses, dua buku koleksi foto telah berhasil dibeli, dan aku sedang berada dalam perjalananku pulang ke rumah.
Tentu saja aku tak akan melakukan tindakan tidak jantan(?) dengan membeli buku-buku normal bersama buku-buku nakal. Kalau hanya sekedar itu, aku langsung saja membeli dua buku yang memang aku inginkan. Aku memang orang seperti itu. Jika Hanekawa adalah seorang ketua kelas di antara ketua kelas, aku adalah seoranglelaki di antara lelaki.
Yah, aku memang memastikan tak ada siapapun yang kukenal berada di toko itu dulu sih.
Singkat cerita.
Rencananya adalah aku menulis ulang ingatanku dengan membaca buku-buku nakal. Teknik yang sama dengan apa yang kupikir Hanekawa hendak lakukan padaku saat mengejarku siang tadi. Waktu itu kupikir menulis ulang ingatanku dengan cara seperti itu tidaklah mungkin (walau sekarang kupikir Hanekawa memang tak punya maksud demikian), tapi menulis ulang hal mesum dengan hal mesum lain kupikir merupakan sebuah rencana yang bagus.
Seandainya tak bisa kuhapus, setidaknya bisa kutulis ulang.
Seandainya itu satu-satunya yang sulit kuhilangkan.
Seandainya itu hanya satu dari sekian banyak, kenangan itu pasti bisa memudar.
Antara melihat secara langsung dan melihat dari foto terdapat perbedaan besar, tapi perbedaan itu bisa kuatasi jika mengandalkan jumlah.
Mempertimbangkan situasi yang kuhadapi, dua buku mesum yang kubeli sama-sama berasal dari seri Gadis-gadis SMA: Fokus Pakaian Dalam. Sebagai konsekuensi karena telah membeli buku mesum pada awal bulan Maret, isi dompetku terkuras sebagai akibat pengeluaran ini, tapi itu memang harga yang harus kubayar.
Mungkin lebih baik jika isi kepalaku saja yang terkuras.
Tapi tak ada pilihan lain.
Aku tak bisa memendam pikiran-pikiran kotor tentang Hanekawa lebih lama dari ini.
Rasa bersalah bisa membunuh manusia.
Pepatah bilang rasa bosan-lah yang sesungguhnya membunuh orang, tapi orang juga bisa meninggal dari timbunan perasaan bersalah.
Argh…
Mungkin akan lebih baik seandainya dia menamparku saja…
“Itu… Itu bukan berarti aku butuh kok…”
Tapi di sisi lain, itu juga jadi membuatku berpikir.
Dikatai seperti itu, pada akhirnya aku juga jadi berpikir.
Sejak kapan aku menjadi orang yang seperti ini?
Semasa SMP, aku masih orang normal yang tak punya masalah dalam bicara dengan orang lain—kenyataannya juga sama sewaktu aku masih SD. Itu berarti, sesuatu terjadi pas aku masuk SMA yang membuatku jadi begini, sesudah nilai-nilai pelajaranku mulai bermasalah?
Itu penjelasan yang cukup mudah.
Aku terlalu tergesa waktu itu, aku memilih sebuah SMA kelas atas dan entah bagaimana lulus ujian masuk ke SMA itu, lalu aku mengalami kesulitan mengimbangi pelajaran… dan itu membuatku merasa sulit untuk dekat dengan orang-orang di sekelilingku.
Aku gagal.
Apa memang alasannya cuma itu?
Sekalipun nilai-nilaiku yang terburuk di sekolah, aku tak pernah sampai didiskriminasi atau direndahkan—seharusnya aku punya banyak kesempatan untuk mulai berteman.
Jadi orang yang mencegah semua hal itu pada akhirnya memang hanya aku sendiri.
“Hmm.”
Terkadang aku benar-benar tak mengerti diriku sendiri.
Aku tak ingin punya teman, tapi apa mungkin itu sebenarnya alasan yang kubuat-buat karena tak mempunyai seorangpun?
Semacam cara perlindungan diri?
Teman-teman.
Sekalipun kau tak punya teman, kau masih akan bisa hidup.
Orang-orang yang tak punya teman selalu bisa berkumpul dengan sesama orang-orang yang tak punya teman. Bahkan, ada orang-orang lain yang juga sepertiku. Mengambil contoh yang ekstrim, di antara teman-teman sekelasku sewaktu kelas satu dan dua, ada anak-anak yang tak pernah kulihat mengobrol dengan siapapun.
Jadi sebenarnya itu bukan masalah.
Hidup dengan cara seperti itu juga bisa dilakukan.
Tapi…
“Aku tak mau punya teman, dan aku bahkan enggak pernah mikir buat dapat pacar, tapi kenapa aku masih punya pikiran-pikiran mesum begini?”
Benar-benar misteri.
Celana dalam seutas saja bisa membuat perasaanku liar seperti ini dan ujung-ujungnya menjadi penyebab tak langsung dari pengeluaran uang.
Tapi pada akhirnya, bukannya itu cuma kain?
Di masa lalu aku pernah bertanya-tanya kenapa perempuan bisa-bisanya mengenakan benda kotor itu ke tubuh mereka. Apa itu berarti mereka mesum? Tapi pengertianku ternyata terbalik.
Setelah aku memikirkannya sekarang, bukannya itu bisa dibeli?
….Tunggu, jangan!
Kalau aku sampai membeli itu pasti akan menjadi suatu tindak kejahatan!
Walau itu bukan suatu tindak kejahatan pun, aku yakin itu lumayan mendekati!
Ya ampun—aku benar-benar ingin menjadi tumbuhan.
Andai aku bisa jadi tumbuhan, maka aku pasti tak akan sampai dilanda oleh nafsu ini.
Aku tak mau menjadi batu atau logam, dan aku juga tak bisa membayangkan diriku sampai seperti itu.
Mungkin itu satu lagi pertanda akan betapa sempitnya pikiranku.
“…Whua, sudah selarut ini?”
Meski aku berangkat ke toko buku secara tergesa menjelang jam tutup toko, malam sudah sedemikian larutnya saat aku berjalan santai pas pulangnya—tanpa kusadari, tanggal telah berganti.
Sekarang sudah tanggal 26 Maret.
Sekarang, mulai dari saat ini, Liburan Musim Semi dimulai.
Aku menyimpan kembali ponselku ke saku dan cepat-cepat kembali ke rumah—jarak ke toko buku besar ini sebenarnya terlalu jauh untuk ketempuh dengan berjalan kaki. Bahkan sebenarnya, toko buku besar itu letaknya tak jauh dari sekolahku, aku sedang menempuh jarak yang tak terlalu berbeda dari jarak yang biasa kutempuh dengan menggunakan sepeda.
Jelas-jelas ini memakan waktu.
Bahkan pada kenyataannya, ini terlalu menyita waktu.
Aku tak punya alasan tertentu yang mengharuskanku pulang cepat-cepat, tapi kupikir tetap saja sebaiknya aku tak berlama-lama… ada saja kemungkinan adik-adikku memasuki kamarku tanpa izin.
Adik-adkku akan bisa menebak dari ketidakhadiranku serta dari keberadaan sepeda itu tentang apa yang sedang kulakukan… Begitu-begitu juga intuisi mereka bagus.
Ah, setelah kupikirkan sekarang, aku pernah melihat celana dalam adik-adik perempuanku. Saat-saat mereka keluar dari kamar mandi biasanya mereka hanya mengenakan pakaian dalam, tapi kurasa itu tak masuk hitungan sih.
Mengesampingkan hal itu.
Mengesampingkan pertanyaan apakah aku akan ketahuan keluar malam atau tidak, saat itu sudah benar-benar larut, dan sekelilingku lebih gelap dibandingkan sewaktu aku berangkat tadi. Kurasa akan konyol bila aku tiba-tiba saja sampai tertabrak mobil.
Kurasa wajar bila anak-anak lelaki punya kekhawatiran seperti itu dalam keadaan macam begini, bukan hanya aku, tapi memang tak ada perjalanan yang harus lebih hati-hati ditempuh melebihi perjalanan pulang ke rumah sesudah pembelian buku-buku porno.
Seandainya sesuatu terjadi, maka isi tas kantong yang kau bawa pasti akan diperiksa.
Gadis-gadis SMA: Fokus Pakaian Dalam.
Jika Hanekawa sampai tahu tentang ini, dirinya pasti akan salah paham.
Ini bukanlah seperti yang kau pikirkan…!
Semua ini hanya cara untuk melindungi keperawananmu dariku… aku sama sekali tak berpikiran untuk melakukan sebaliknya!
…Ayunan-ayunan emosional tak berarti ini sebenarnya cukup lucu, bila diperhatikan dari beberapa segi.
Kalau keadaannya segelap ini, maka sepertinya memang berbahaya, tapi ini kota terpencil dengan hanya sedikit mobil, dan seandainya ada mobil, mobil itu akan langsung terlihat dari cahaya lampu sorot yang mendahuluinya. Pada dasarnya, rasa takut ini sebenarnya tak berdasar—namun demikian…
Sekalipun begitu, bukannya ini agak terlalu gelap?
Berpikir seperti itu aku memandangi langit, dan langsung mengetahui alasannya.
Cahaya lampu-lampu jalan tidak ada.
Nyaris semua lampu jalan, yang ditempatkan secara berselang dalam interval 5 meter, tidak menyala—sebenarnya, ‘nyaris’ bukan kata yang paling tepat, hanya ada satu saja lampu jalan yang menyala.
Apa semuanya rusak?
Belum pernah ada kejadian ketika begitu banyak lampu jalan rusak secara bersamaan sih…. Atau mungkin ada pemadaman? Tapi aneh jika dari semua yang ada tetap ada satu yang masih menyala.
Seraya berpikir soal itu…
Seraya berpikir soal itu, walau kenyataan tersebut tak menggangguku dan aku menerimanya sebagai sesuatu yang memang bisa terjadi, aku terus melangkahkan kakiku ke depan.
Aku memang bilang kalau aku tak punya alasan tertentu yang mengharuskanku pulang cepat, tapi berpikir lebih seksama tentangnya, aku memang punya tujuan untuk kembali ke rumah sesegara mungkin demi secepatnya menggunakan buku-buku yang baru kubeli.
Sebuah tujuan yang kuberikan prioritas melebihi yang lain—
“Engkau!”
Dan itulah mengapa…
“Wahai… engkau yang ada di sana. Engkau.”
Dan itulah mengapa, jika ada yang memanggilku seperti itu, aku hanya akan mengabaikannya dan—engkau?
Apa-apaan cara kuno yang dipakai memanggil orang itu?
Aku bereaksi secara refleks.
Aku menoleh ke arah dari mana suara tersebut berasal—dan selanjutnya, aku kehilangan kata-kata.
Di bawah satu-satunya lampu jalan yang menyala di dekat sana…
Diterangi oleh cahaya lampu jalan—‘perempuan itu’ hadir.
“Beta izinkan… engkau menyelamatkanku…”
Rambut pirang yang tak cocok dengan nuansa kota terpencil ini.
Dirinya mengenakan sebuah gaun cantik—bahkan gaunnya juga terasa tak cocok dengan kota ini. Walau nuansa ‘tak cocok’ kali ini agak berbeda untuk soal gaunnya.
Gaun itu—pastinya dulunya semacam pakaian kelas atas yang elegan, tapi saat ini gaun tersebut hanyalah bayangan yang masih tersisa dari wujudnya yang telah lalu.
Robek.
Kumal.
Seperti helai demi helai dari kain-kain usang.
Seolah, selapis kain pel akan terlihat lebih baik darinya—tapi sebaliknya, itu adalah gaun yang bahkan dalam keadaan begitu masih bisa memancarkan sisa-sisa dari kebesaran asli yang dulu pernah dimilikinya.
“Bisakah engkau dengar beta… Beta bilang, beta izinkan engkau menolongku.”
‘Perempuan itu’ memandangiku.
Tatapan mata tajam nan beku itu membuat sekujur tubuhku terpaku—meski, mengatakannya sesuai kenyataannya, pada saat itu aku tak setakut itu.
Bagaimanapun, ‘perempuan itu’ terlihat letih.
Punggungnya bersandar pada tiang lampu jalan.
Terduduklah dirinya di atas permukaan aspal.
Bukan—terduduk bukan kata yang pas.
Tersungkur mungkin lebih tepat.
Memandangiku menjadi satu-satunya hal yang ‘perempuan itu’ dapat lakukan.
…Salah.
Seandainya ‘perempuan itu’ tidak letih, seandainya ‘perempuan itu’ tidak tersungkur, tetap saja ‘perempuan itu’ tak dapat menjangkauku, hanya memandang.
Sebab kenyataannya, ‘perempuan itu’ tak mempunyai tangan yang bisa dipakainya untuk menjangkau.
Tangan kanannya—putus di bagian siku.
Tangan kirinya—putus di pangkal bahu.
“……..!!”
Dan tak hanya itu.
Bahkan bagian bawah tubuhnya berada dalam kondisi yang sama.
Kaki kanannya—teramputasi pada bagian lutut.
Kaki kirinya—teramputasi pada pangkal paha.
Bukan, bagian kanannya memiliki semacam bekas potongan tajam—bekas itu terlihat jelas. Keadaannya berbeda dari bekas-bekas luka lainnya di tangan kanan, tangan kiri, dan kaki kiri, yang secara keji diputuskan darinya.
Tapi…
Kenyataan seperti apa keadaan bekas-bekas lukanya tidak relevan pada saat ini.
Dengan kata lain, ‘perempuan itu’ sudah tak lagi memiliki satupun tungkai yang tersisa.
Karena alasan itulah—dirinya tersungkur di tiang lampu jalan itu.
Daripada dibilang berada dalam keadaan letih.
Ia hanya tepat digambarkan berada dalam keadaan sekarat.
“He-Hei—kau baik-baik saja?”
Jantungku berdetak kencang seperti bel alarm.
Sejak dulu aku selalu merasa ungkapan itu hanya perumpamaan—tapi kini aku benar-benar merasa seperti itu.
Jantungku berdetak sedemikian kerasnya sampai terasa sakit.
Jantungku—berdetak liar.
Seakan memperingatkanku akan datangnya bahaya.
Seperti bel alarm.
“Akan kupanggil ambulans sekarang!”
Untuk ukuran sampai kehilangan kedua kaki sekaligus kedua lengan, jejak darah yang ada kelihatannya tak banyak.
Tanpa banyak menaruh perhatian bahkan terhadap kenyataan itu, aku merogoh ponselku dari dalam saku—tapi jari-jemariku gemetar, aku tak bisa menekan tombol-tombolnya secara baik.
Oh ya, nomor telepon untuk memanggil ambulans itu berapa ya?
117?
115?
Brengsek, itu nomor yang semestinya kusimpan dalam buku alamatku!
“Ambuulen… beta tak butuh.”
Masih tak kehilangan kesadarannya sekalipun dengan empat luka amputasi itu, dengan nada suara yang kuat dan ekspresi wajah kolot, ‘perempuan itu’ berkata padaku.
“Dus… berikan darah engkau pada beta.”
“………”
Jari-jemariku, yang tengah memijit-mijit sebuah angka—terhenti.
Kemudian.
Akhirnya, aku teringat pembicaraanku dengan Hanekawa pada siang tadi.
Sebuah rumor yang tersebar hanya di kalangan anak-anak perempuan.
Apa lagi?
Apa lagi yang dikatakannya waktu itu?
Pas malam hari.
Jangan keluar sendirian saat malam hari.
“…Rambut pirang.”
Rambut pirang.
Rambut pirang—
Disinari oleh lampu jalan, rambut pirangnya terlihat berkilat.
–Dan.
Dirinya tak mempunyai bayangan.
‘Perempuan itu’ berada di bawah lampu jalan yang menyala sendiri di sekeliling, seakan diterangi lampu sorot terang yang berada di atas panggung—dan rambut pirangnya yang disinari lampu jalan itu benar-benar berkilat dan mempesona—namun…
Benar-benar.
‘Perempuan itu’ tak mempunyai bayangan.
Tanpa sedikitpun bayangan keraguan.
‘Perempuan itu’ benar-benar tak memilikinya.
“Nama beta.”
Kemudian—‘perempuan itu’ berbicara.
“Beta bernama Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade… vampir berdarah besi, berdarah panas, berdarah dingin.”
‘Perempuan itu’ demikian berkata.
Dengan pakaian yang sudah kumal itu.
Dan berada dalam keadaan kehilangan empat tungkai badan.
Tetapi, masih seakan menghambakan.
Di dalam kedua bibirnya yang terbuka—aku dapat melihat sepasang taring tajam.
Taring—tajam.
“ ‘Kan beta telan darah engkau dan menjadikannya sebagian dagingku—dus, berikan darah engkau pada beta.”
“…Vampir.”
Aku berkata, sembari berusaha mengatur nafasku.
“Bukankah, semestinya kau abadi?”
“Beta kehilangan terlalu banyak darah. Tak dapat beta menumbuhkan lagi, ataupun mengganti rupa. Bila begini—beta akan tewas.”
“… … …”
“Manusia tak berarti—hendaklah menerima kehormatan menjadi sebagian dagingku.”
Kedua kakiku tak dapat berhenti gemetar.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Aku baru saja terseret ke dalam apa?
Kenapa ada vampir tiba-tiba saja nongol di depanku—terlebih dalam keadaan di ambang maut?
Vampir-vampir yang semestinya tidak ada ternyata benar-benar ada.
Ada vampir yang semestinya hidup abadi kini tengah sekarat.
Apa semua ini… benar-benar nyata?
“H-Hei.”
Aku begitu terguncangnya sampai-sampai tak mampu berbicara, dan perempuan itu tampak meringis ke arahku.
Sebenarnya, itu mungkin ringisan akibat rasa sakit.
Bagaimanapun, ‘perempuan itu’ telah kehilangan kedua kaki dan kedua lengannya.
“Ke… Kenapa? Tidakkah engkau tahu engkau dapat menolong beta? Tidakkah engkau pikir engkau bisa mendapat kehormatan lagi? Engkau tak usahlah lakukan yang lain—Cukup sodorkanlah leher dan biarkan beta lakukan sisanya.”
“…Darah, kau bilang… kenapa tak melakukan transfusi saja?”
Harus kuakui bahwa aku sama sekali tak tenang saat menanyakan itu.
Aku sama sekali tak tahu soal apa yang sedang terjadi.
Lelucon macam apa ini?
‘Perempuan itu’… Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade mungkin tengah memikirkan hal yang sama juga. Karena itu tak ada respon.
Bukan.
Mungkin sebenarnya dia sudah tak memiliki tenaga untuk memberi respon lagi.
“Kau… Butuhnya berapa banyak?”
Pertanyaan kali ini lebih spesifik, karena itu dia menjawabnya.
“…Untuk sementara, dengan seluruh darahmu beta akan sanggup lalui darurat ini.”
“Begitu. Seluruh darahku… hei!”
Kalau begitu aku akan mati dong!
Tapi buru-buru kutelan tanggapanku.
Sepasang matanya, tengah memandang ke arahku.
Kedua matanya yang beku itu.
Itu adalah—sepasang mata yang tengah mencari makanan.
Aku tak bercanda—ini kukatakan secara serius.
Dirinya sebentar lagi mati.
Dan dirinya tengah berusaha agar tetap hidup—dengan memakanku.
Dirinya tidak sedang mencari bantuanku.
Dirinya hendak memangsaku.
Dirinya hanya sedang berusaha bertahan hidup dengan cara-caranya sendiri.
“… … …”
Oke.
Aku ini ngomong apa? –Apa yang sedang berusaha kulakukan? Apa—yang sedang kupikirkan dengan memikirkan kemungkinan menyelamatkan perempuan ini?
Apa aku sudah gila?
Wanita ini vampir!
Dengan kata lain, dirinya semacam monster.
Aku tak tahu kenapa ia bisa sampai kehilangan kedua tangan dan kakinya, dan juga kenapa tak lama lagi ia akan mati—bagaimanapun, alasan itu tak berarti.
Kenapa aku harus sampai terseret?
Manusia bijak manapun akan menjauhkan dirinya dari bahaya, bukan?
Apa artinya kita memasuki sarangharimau bila di dalamnya tak ada anak harimau?
Orang di hadapnku ini bukanlah manusia.
Dirinya sosok supernatural.
Hanekawa menggambarkan dirinya dengan cara seperti itu.
“Engkau nantikan apa? …Darah. Beri beta darah. Cepat… cepat, beta bilang. Buat apa melongo, dasar bebal.”
“… … …”
Dia benar-benar tak memiliki masalah meminta hal ini.
Vampir itu berbicara seakan itu hal alami yang selayaknya kulakukan.
Aku mengambil satu langkah mundur.
Tak masalah.
Aku pastinya bisa kabur… Aku yakin aku akan bisa meloloskan diri.
Sekalipun lawannya adalah vampir, sesosok monster.
Jika tangan dan kakinya terpancung, aku pasti akan bisa lari—melihatnya saja, dirinya bahkan tak akan bisa mengejarku.
Aku hanya perlu melarikan diri.
Itulah yang telah kulakukan selama ini.
Dengan itu saja, aku bisa menolak kenyataan ini.
Kemudian.
Dengan satu kaki yang sudah mulai melangkah ke belakang—
“Tidak… Jangan…”
Persis saat itu.
Sepasang matanya—terlihat teramat rapuh.
Seakan kebekuan yang hadir sebelumnya hanyalah kebohongan semata.
“Takkankah engkau… menolong beta?”
“… …. …”
Gaun yang kumal.
Tangan dan kaki yang telah terputus.
Dirinya tak memiliki bayangan sekalipun diterangi lampu jalan, sesosok monster.
Namun—
Kupikir perempuan pirang itu teramat menakjubkan.
Kupikir dirinya sangatlah cantik.
Aku terpesona—dari dasar lubuk hatiku.
Aku tak sanggup mengalihkan pandanganku darinya.
Terlebih lagi, aku tak sanggup menggerakkan kakiku.
Bukan karena aku terpaku, atau karena aku gemetar.
Aku hanya… tak sanggup melakukannya.
“Jangan… Jangaaan.”
Sikap sombong yang sebelumnya ada itu runtuh—dari kedua bola matanya, yang memiliki warna keemasan yang sama dengan rambutnya—air mata mulai berjatuhan dalam tetesan-tetesan besar.
Selayaknya anak-anak.
Dirinya mulai terisak.
“Tidak, tidak, tidaaak… beta tak mau tewas, beta tak mau tewas, beta tak mau tewas! Tolong beta, tolong beta, tolong beta! Tolong, beta mohon, andai engkau tolong beta, ‘kan beta lakukan segala yang engkau katakan!”
Dia mulai menjerit dalam kesakitan.
Tanpa rasa malu.
Seakan aku sudah tak lagi terlihat oleh matanya.
Menjatuhkan dirinya—dia terus menjerit.
“Beta tak bisa mati, tak bisa mati, beta tak sudi hilang, tak sudi lenyap! Tidaaak! Seorangpun, siapapun, siapapun jua…”
Tak ada seorangpun manusia yang sudi menyelamatkan seorang vampir.
Sekeras apapun vampir itu menjerit—hatimu tak boleh tergerak.
Karena kau akan mati, tahu?
Seluruh darah yang kau punya.
Walau aku tak pernah takut untuk mendonorkan darah…
…Aku tak pernah menyukainya.
Aku tak pernah sudi membebani diriku dengan kepentingan manusia lain, apalagi monster, aku tak mungkin sanggup menanggung beban seberat itu.
Coba saja bebani dirimu dengan vampir.
Bayangkan saja seberapa besar tenagamu sebagai manusia akan habis.
“Whaaaaah.”
Air mata yang mengalir—mulai berubah merah seperti layaknya warna darah.
Aku tak mengerti mengapa.
Aku tak mengerti mengapa, tapi itu—mungkin pertanda bahwa kematiannya sudah dekat.
Kematian bagi vampir.
Air mata darah.
“Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf…”
Akhirnya, kata-kata permohonan bantuannya berubah menjadi kata-kata permohonan ampunan.
Karena apa dia meminta maaf?
Kepada siapa dia meminta maaf?
Tapi—aku tak tahan melihatnya begitu.
Memandanginya memohon ampun seperti itu, kepada sebuah sosok yang tak jelas…
Mungkin…
Dia bukanlah makhluk yang selayaknya bersikap demikian.
Dia bukanlah makhluk yang selayaknya bersikap dengan cara merendahkan diri seperti itu.
“Wh… Whaaaaaaaaaa!”
Pada titik ini…
Menjerit seperti itu, aku mulai berlari.
Kupaksakan kakiku yang tak bergerak untuk bisa bergerak—dan membelakangi badan darinya, sekuat tenaga aku mulai melarikan diri.
Aku masih bisa mendengar suara permintaan maafnya dari belakangku.
Apa hanya aku seorang yang dapat mendengar suaranya?
Mungkinkah akan ada orang lain yang terpanggil oleh suara itu dan pergi ke sana?
Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade.
Haruskah aku menolongnya?
…Tak mungkin.
Aku akan mati.
Di samping itu, dia itu monster.
Vampir.
Tak ada keharusan bagiku untuk menyelamatkannya, ‘kan?
“…Aku juga tahu itu!”
Aku.
Kulempari kantong kertas yang kubawa ke tempat pembuangan sampah beberapa jarak dari sana.
Kantong yang berisi dua buku mesum yang terlanjur kubeli.
Ketentuan umumnya adalah kau mengeluarkan sampah dari rumahmu pada pagi hari, tapi memang sampah di sana takkan dikumpulkan oleh petugasnya sampai hari Minggu. Tapi, memilih membuangnya di tempat pembuangan sampah adalah hal yang setidaknya kupikirkan.
Mungkin nanti akan ada anak SMP beruntung yang akan memungutnya.
Memang sayang, tapi aku sudah tidak memerlukannya lagi.
Dalam artian, akan jadi masalah seandainya aku membawanya bersamaku.
Aku akan meninggal dunia tak lama lagi, berapa banyak buku mesum yang kubawa bersamaku tak ada artinya lagi—ah!
Tak ada perjalanan apapun yang memerlukan kehati-hatian melebihi perjalanan pulang sesudah membeli buku mesum—semestinya aku sudah menyadarinya.
Tenagaku sebagai manusia benar-benar sudah habis sekarang.
“… … …”
Kembali ke tiang lampu itu, bahkan dari mataku, tetes-tetes air mata besar mulai bercucuran.
Kedua orangtuaku.
Kedua adik perempuanku.
Aku menghindari hubungan antar manusia, dan pada saat seperti ini, orang-orang yang bisa kuingat hanyalah mereka—dan meski hanya ada empat orang, itu saja sudah cukup untuk membuatku mulai menangis.
Anggota-anggota keluarga yang dengan mereka aku tak mempunyai ikatan yang baik.
Terutama semenjak aku masuk SMA dan nilai-nilaiku memburuk, sebuah jarak yang aneh dan tak terhindarkan mulai terbentuk antara aku dan kedua orangtuaku.
Aku tak tak menyukai atau membenci mereka.
Kurasa keadaannya juga sama bagi mereka.
Jarak itu terbentuk begitu saja.
Sering terjadi saat kita mulai menginjak pubertas.
Aku bisa menerima bagaimana ini terjadi, tapi—seandainya aku tahu hal seperti ini akan terjadi, pastilah kusempatkan berbicara dengan mereka lebih banyak lagi.
Diam-diam menyusup keluar dari rumah, dan tahu-tahu saja berakhir sebagai orang hilang.
Ah… sekalipun aku sudah membuangnya, kedua adikku mungkin akan tetap menebak bahwa aku keluar untuk membeli buku-buku mesum dan suatu kejadian menimpaku dalam perjalanan pulang.
Itu tak apa.
Dalam keadaan apapun, itu tak akan mendatangkan rasa malu bagi keluargaku.
Kedua adikku, aku benar-benar menyayangi kalian.
“… … …”
Kuhapus air mataku.
Sebenarrnya, memikirkannya lagi, memiliki sedikit orang untuk diingat mungkin lebih baik—jika aku secara asal punya banyak teman untuk diingat sekarang, mungkin waktu yang kumiliki akan terlanjur habis.
Berbicara sebaliknya, mungkin karena aku hanya bisa membangun hubungan sebatas ini saja aku bisa mengambil keputusan ini sekarang, begitu pikirku saat itu.
Kembali ke tiang lampu jalan satu-satunya yang menyala itu.
Vampir pirang itu masih di sana.
Dirinya sudah tak lagi menangis.
Dirinya bahkan sudah tak lagi bersuara.
Dirinya masih terisak-isak.
Seakan-akan dirinya sudah terlanjur menyerah.
“Jangan menyerah, tolol!”
Berteriak seperti itu, aku berlari ke arahnya—aku membungkuk di hadapannya, kemudian…
…secara pribadi, kusodorkan leherku.
“Kamu yang bilang bakal menangani sisanya.”
“…Eh?”
Dirinya—membuka mata.
Keterkejutan memenuhi wajahnya.
“Boleh—bolehkah?”
“Memang kau pikir kau tak bisa, dasar tolol…”
Sial, sial, siaaal…
Kenapa?
Kenapa akhirnya jadinya begini?
“Itu—itu jelas alasannya kenapa, soalnya selama ini aku hidup tanpa pernah benar-benar melakukan apa-apa, selamanya hidup tanpa mikir!”
Aku berteriak.
Aku meneriakkan apa yang sungguh-sungguh kupikirkan.
“Sejak awal aku tak pernah punya alasan buat terus hidup. Aku tak pernah punya alasan buat ngasih prioritas pada hidupku, jadi kalau aku mati, enggak akan ada bedanya buat dunia!”
Hidupku tidak indah.
Juga tidak menarik.
Kalau begitu, lebih baik aku mati agar sosok cantik di hadapanku ini bisa terus hidup.
Itulah kesimpulanku.
Aku manusia yang tak berarti.
Sementara vampir adalah makhluk dengan derajat yang lebih tinggi, ‘kan?
“Dalam kehidupanku yang berikutnya, aku janji akan sukses. Akan aku pahami apa-apa yang penting, aku akan jadi jago ngebangun hubungan dengan orang-orang lain, aku enggak akan lagi ngerasa bersalah buat setiap hal kecil, aku akan bisa ngelakukan hal-hal tak sengaja tanpa harus kuatir, aku enggak menyesal untuk mendapati segala sesuatuny sesuai kemauanku, aku akan sanggup menyalahkan hal-hal buruk pada orang-orang lain yang memang salah, aku bakal bereinkarnasi jadi orang kayak begitu—dan makanya!”
Aku bilang…
Setidaknya…
Bisa mengatakan itu semua sendiri bisa menjadi kebanggaan si makhluk rendah.
“Akan kuselematkan kau—hisap darahku.”
“… …”
“Semuanya, jangan sisakan setitik pun—hisap saja semuanya.”
“…Te…”
Dia.
Kiss-Shot Acerola-Orion Heart-Under-Blade—ini hanya asumsi pribadiku, tapi mungkin ini pertama kali dalam hidupnya ia berterima kasih pada makhluk selain dirinya sendiri.
“Terima kasih…”
Rasa sakit yang tajam menyerang leherku—aku tersadar bahwa aku tengah digigit olehnya.
Kesadaranku lenyap seketika.
Kemudian, dengan apa yang masih tersisa dari kesadaranku, barulah aku teringat.
Hanekawa Tsubasa.
Jika aku secara asal punya sesuatu seperti teman, waktu mungkin akan terlanjur habis.
Benar-benar nyaris.
Seandainya teringat tentangnya lebih awal, mungkin aku tak akan sempat melakukan pertolongan tepat waktu—wuih.
Yah, terserahlah.
Meskipun tak berlangsung lebih dari sepuluh menit, walau sangat singkat, meninggal dunia dengan teringat akan pertemuanku dengan Hanekawa—mungkin tidaklah buruk. Tidak, untuk sekali ini, aku sama sekali tak memikirkan soal celana dalamnya.
Beri aku sedikit toleransi soal itu.
Biarkan aku menjadi keren sedikit di akhir, kenapa sih?
Dengan begitu, masa hidup singkat dari Araragi Koyomi, 17 tahun lebih sekian, secara tiba-tiba, tanpa pendahuluan atau tanda-tanda sebelumnya, kemudian berakhir—atau setidaknya, itulah yang seharusnya terjadi.
Sumber : translated by https://alfare.wordpress.com
link by suka2gue.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Mau lebih seru lagi? coba pencet Ctrl + D trus klik Done/Ok !